TIK berbasis Internet dan sikap UMK terkait partisipasi dalam transaksi internasional

Usaha mikro dan kecil (UMK) memainkan peran utama dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2016, lebih dari 26 juta UMK di berbagai sektor menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 53 juta penduduk – sekitar 76 persen dari total angkatan kerja pada tahun tersebut (BPS, 2017). Mayoritas UMK ini diduga beroperasi dengan margin keuntungan yang relatif kecil dan tergolong sebagai kegiatan bisnis informal. Oleh karena itu, rumah tangga yang menjadi bagi dari UMK relatif miskin, atau setidaknya tidak cukup kaya untuk dikenakan pajak.

Dalam dekade terakhir, tampaknya kecenderungan bagi UMK untuk melakukan transaksi internasional terus meningkat; yakni melakukan kegiatan ekspor-impor dan aktif dalam jaringan perdagangan internasional.  Perkembangan ini terbukti bermanfaat bagi UMK Indonesia dan mitra internasional mereka. Akan tetapi, UMK yang melakukan transaksi internasional dan yang tidak masih belum diidentifikasi. Salah satu argumen adalah bahwa UMK yang mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berbasis internet akan memiliki kesempatan untuk melakukan transaksi internasional. Penelitian menunjukkan bahwa TIK memungkinkan perusahaan untuk membentuk kembali proses bisnis, meningkatkan produktivitas untuk mewujudkan komunikasi yang lebih cepat dan untuk menjangkau klien baru (Bresnahan dan Trajtenberg, 1995; Clarke, Qiang dan Xu, 2015).

Fokus utama dari proyek ini adalah untuk mengamati apakah TIK berbasis internet mengubah sikap usaha mikro dan kecil untuk melakukan transaksi internasional, termasuk dengan mitra Australia.

Pada bulan Januari 2017, para peneliti mewawancarai sekitar 500 UMK di provinsi Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Bantul dan kota Yogyakarta, untuk mengetahui sikap mereka terhadap pengadopsian TIK dalam kegiatan bisnis. Penelitian tersebut berupaya untuk mengeksplorasi apakah pengadopsian TIK mendorong mereka untuk melakukan transaksi internasional, seperti mengekspor produk, menyediakan layanan bagi pelanggan di luar negeri, dan mengimpor intermediary input; khususnya dengan mitra Australia. Kabupaten Bantul dan kota Yogyakarta di provinsi Yogyakarta dipilih secara acak berdasarkan jumlah UMK di kabupaten tersebut relatif terhadap jumlah total UMK di provinsi.

Temuan

Kami menemukan bahwa penggunaan internet di kalangan UMK masih dalam tahap awal. Walaupun lebih dari 61,8 persen dari sampel mengakses internet, sebagian besar menggunakan smartphone untuk mengakses internet (95,2 persen) dan menggunakannya untuk keperluan komunikasi (94,7 persen). Temuan ini berlawanan dengan situasi di negara maju, di mana sebagian besar masyarakat menggunakan komputer desktop guna mengakses internet untuk keperluan selain komunikasi (Pangestu dan Grace, 2017).

Tiga alasan utama untuk tidak mengakses internet adalah kurangnya pengetahuan, kurangnya kebutuhan dan kurangnya keahlian; di sisi lain, kekuatan sinyal telepon seluler tidak menjadi masalah utama. Ini tidak mengherankan mengingat Yogyakarta lebih berkembang dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Data menunjukkan bahwa ada kesenjangan dalam hal pendapatan dan pendidikan antara UMK yang mengadopsi TIK berbasis internet dan yang tidak. Demikian pula, wirausahawan dari UMK yang terhubung ke internet biasanya memiliki kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi, sedangkan pengusaha UMK yang tidak terhubung umumnya lulusan pendidikan dasar dan menengah.

Studi ini menemukan bahwa penggunaan internet untuk kegiatan bisnis terbatas pada media sosial, seperti untuk berkomunikasi dengan pelanggan dan pemasok, serta untuk mempromosikan produk dan layanan. Sebaliknya, persentase pihak yang memiliki situs web atau platform e-commerce sangat rendah.

Meskipun demikian, TIK berbasis internet telah memungkinkan UMK untuk terlibat dalam ekonomi digital dan meningkatkan produktivitas mereka. Kami menemukan bahwa penggunaan internet berkorelasi positif dengan kinerja ekspor dan impor, dan produktivitas tenaga kerja.

UMK mengekspor produk, baik secara langsung atau melalui distributor domestik. Dua destinasi tujuan utama adalah Amerika Serikat (33,1 persen) dan Australia (31,5 persen). Sekitar 89,8 persen dari eksportir menggunakan TIK dan 53,9 persen dari non-eksportir menggunakan TIK.

UMK juga secara langsung (26,3 persen) atau melalui distributor domestik (73,7 persen) mengimpor bahan dasar untuk kegiatan bisnis mereka.  Negara asal yang paling banyak mengekspor adalah Cina (35,1 persen), sementara Australia hanya mencakup 9,7 persen. Sekitar 77,2 persen dari UMK yang mengimpor bahan dasar untuk kegiatan bisnis menggunakan TIK dan 58 persen dari non-importir menggunakan TIK.

Terkait dengan produktivitas tenaga kerja, kami menemukan bahwa produktivitas UMK yang menggunakan TIK cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan UMK yang tidak menggunakan TIK. Pendapatan rata-rata pekerja UMK yang mengadopsi TIK adalah Rp 10,1 juta dan pendapatan pekerja yang tidak terhubung ke internet hanya Rp 3,8 juta. Dari segi laba per pekerja, UMK yang mengadopsi TIK menghasilkan Rp 4,2 juta dan UMK yang tidak mengadopsi TIK hanya menghasilkan Rp 1,9 juta.

Rekomendasi

Proyek ini menyimpulkan bahwa penggunaan TIK berkorelasi positif dengan kinerja ekspor dan impor UMK serta produktivitas tenaga kerja. Secara umum, mereka yang menggunakan TIK memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk melakukan kegiatan ekspor-impor serta kemampuan untuk mencapai produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak menggunakan TIK.

Oleh karena itu, proyek ini mendukung argumen bahwa ekonomi digital, yang diwakili oleh akses ke dan penggunaan TIK, memiliki potensi signifikan untuk berkontribusi pada pengembangan dan inklusivitas dengan memperluas peluang perdagangan dan mendorong inklusi keuangan.

Keuntungan ini membenarkan kebijakan publik yang bertujuan untuk mendorong penggunaan internet oleh perusahaan. Jika internet digunakan untuk mendukung ekspor dan produktivitas perusahaan, maka kebijakan pelengkap yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan perusahaan akan diperlukan. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya perlu menyediakan infrastruktur TIK tetapi juga perlu meningkatkan kesiapan pengusaha UMK untuk mendapatkan manfaat dari teknologi.

People