Super grid energi terbarukan Indonesia – Australia
Jaringan listrik di Indonesia saat ini belum memenuhi kebutuhan populasinya. Tingkat kelistrikan nasional mencapai sekitar 84 persen, dan di beberapa daerah, tingkat kelistrikannya dapat serendah 30 persen. Jaringan perlu dikembangkan secara masif agar dapat mengakomodir standar kehidupan yang semakin meningkat, jumlah populasi yang kian bertambahn, dan menghubungkan mereka yang masih belum ada di dalam jaringan grid.
Sebagian besar tenaga listrik di Indonesia dihasilkan dari bahan bakar fosil, dengan bauran antara batubara, minyak dan gas; tenaga panas bumi dan hidro listrik menciptakan komposisi sedikit di atas 10 persen di dalam bauran penghasil tenaga listrik. Di dunia, teknologi fotovoltaik tenaga surya dan angin dikerahkan dalam skala besar (lebih dari 100 gigawatt kapasitas baru per tahun bila dikombinasikan), dan skala ini kemungkinan akan terus berkembang menjadi industri skala besar dalam dekade berikut. Pertumbuhan ini turut didorong oleh penurunan harga yang luar biasa pesat dalam lima tahun terakhir, sekaligus keprihatinan tentang emisi gas rumah kaca yang semakin mengkhawatirkan.
Proyek bertujuan untuk menjajaki potensi energi terbarukan, terutama PV tenaga surya, untuk memasok sebagian besar kebutuhan tenaga listrik Indonesia dan Australia pada tahun 2050, melalui pembangunan sistem pembangkit, penyimpanan dan transmisi skala besar yang saling terkoneksi. Teknologi penyimpanan primer yang dipilih adalah pumped hydro energy storage, yang terdiri dari sekitar 99 persen dari semua penyimpanan energi karena biayanya yang relatif lebih rendah dibandingkan alternatif yang ada seperti baterai. Kedua negara diharapkan akan terkoneksi dengan jalur transmisi arus langsung voltase tinggi (high-voltage direct current – HVDC). Teknologi ini sedang dipelajari oleh penyedia tenaga listrik utama di Indonesia, dan ada tiga instalasi HVDC di Australia dan ada banyak lagi di dunia.
Sebagai langkah pertama, proyek menginvestigasi kemungkinan untuk memasok kebutuhan tenaga listrik Australia dan Indonesia sebanyak 50 persen dari PV tenaga surya dan tenaga angin pada 2035. Untuk mencapai kesimpulan, para peneliti mengumpulkan informasi tentang penggunaan tenaga listrik melalui sampel pulau di Indonesia pada umumnya, sekaligus mengkaji literatur terbaru tentang teknologi HVDC.
Pada tahun 2014, energi terbarukan (terutama tenaga hidro, angin dan surya) menyediakan 59 persen kapasitas tenaga listrik baru bersih di dunia, dimana stasiun pembangkit listrik bahan bakar fosil (utamanya gas dan batubara) menyeimbangkan sisanya. Tenaga PV dan angin saat ini mewakili hampir seluruh kapasitas tenaga listrik baru di Australia dan di beberapa negara lain. Dalam beberapa tahun ke depan, tenaga angin dan surya mungkin akan melampaui gabungan tenaga hidro, gas dan batubara. Sekitar 0,1 persen permukaan tanah di Indonesia akan disyaratkan untuk memenuhi persyaratan kelistrikan untuk tenaga PV dan tenaga angin. Meski demikian, tenaga angin dan tenaga surya masih memiliki tingkat adopsi yang rendah di Indonesia meskipun Indonesia kaya akan sumber daya tenaga surya.
Indonesia bergelut dengan trio masalah, antara lain kemiskinan energi, keamanan energi yang lemah, dan intensitas emisi tinggi. Peningkatan tinggi pada produksi tenaga listrik dan transmisi akan dibutuhkan dalam beberapa dekade yang akan datang. Sumber tenaga listrik yang ada saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Perubahan sistem berpikir telah muncul, dimana Indonesia berencana untuk menyediakan tingkat penetrasi energi baru dan terbarukan tenaga listrik sebesar 25 persen pada 2025, dan untuk mencapai 10 persen tabungan efisiensi energi pada 2019. Indonesia juga menghadapi tantangan atas peningkatan tingkat elektrifikasi, sebuah tantangan yang menjadi lebih sulit dibandingkan dengan negara lain karena populasi yang tersebar di banyak pulau.
Penurunan harga drastis dari PV tenaga surya menunjukkan bahwa teknologi yang kian matang ini menjadi lebih terjangkau di berbagai belahan dunia. Indonesia berlokasi di daerah tropis, dan memiliki paparan tenaga surya yang tinggi. Hal yang tak kalah penting adalah, tingkat paparan dan energi di Indonesia memiliki tingkat musim yang rendah; tidak seperti negara lain dengan latitud yang lebih tinggi, dimana suhu dan ketersediaan tenaga surya hanya sedikit beragam dari musim ke musim, sehingga kebutuhan tempat penyimpanan musiman yang lebih mahal tidak diperlukan. Tidak ada permintaan terhadap pemanas ruang intensif energi, dan hanya ada sedikit permintaan untuk pemanas air domestik intensif energi. Permintaan untuk pendingin udara umumnya sesuai dengan ketersediaan tenaga surya. Tingkat permintaan terhadap energi untuk penerangan dan pendingin bervariasi sedikit dari bulan ke bulan.
Australia memiliki salah satu sumber tenaga surya terbaik di dunia, namun banyak di antaranya didapati ti wilayah gurun tanpa populasi yang tidak saling terkoneksi. Meski demikian, sumber daya ini dapat diambil dan dipindahkan ke Indonesia melalui transmisi HVDC. Menghubungkan gurun di Australia ke Indonesia via HVDC akan berakibat pada pasar tenaga listrik yang lebih luas dan terdiversifikasi.
Kesimpulan
Penurunan biaya PV tenaga surya dan tenaga angin, bersama dengan pengembangan transmisi dan penyimpanan, membuat tenaga surya dan angin mampu bersaing dengan seluruh alternatif lain, seperti bahan bakar fosil, nuklir dan energi terbarukan. Tenaga surya dan angin memang mungkin merupakan opsi termurah untuk kapasitas pembangkit tenaga listrik baru skala besar di Australia dan Indonesia.
People
Outcomes
Journal articles
Blakers, A. (2015). Sustainable energy options. Asian Perspective, 39, 559-589.
Blakers, A. (2017). Indonesian-Australian renewable energy supergrid. Project report, Australia-Indonesia Centre.