Pengolahan pangan dan pengembangan rantai nilai di Indonesia
Perekonomian Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Transformasi di sektor pengolahan pangan Indonesia didorong oleh pertumbuhan ekonomi, yang disertai dengan perubahan pola konsumsi pangan. Sektor manufaktur (kecuali minyak dan gas) menyumbang sekitar 20 persen dari total PDB Indonesia melalui pasar domestik, senilai sekitar AUD $ 200 miliar. Pengolahan pangan, minuman dan tembakau mewakili 37 persen dari total produksi, dan industri ini berkembang pesat, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 10 persen selama dekade terakhir.
Indutsri pengolahan pangan juga menjadi salah satu penyedia utama lapangan kerja di Indonesia, dengan peningkatan dari 2,93 juta lapangan kerja pada tahun 2010 menjadi 4,26 juta lapangan kerja pada tahun 2013 dan tingkat pertumbuhan yang luar biasa, yakni 15 persen per tahun. Secara signifikan, sebagian besar pertumbuhan lapangan kerja ini berasal dari perusahaan mikro (mempekerjakan kurang dari lima orang) dan perusahaan kecil (mempekerjakan kurang dari 20 orang), yang secara bersama-sama menyediakan lebih dari 76 persen lapangan kerja dalam sektor pengolahan pangan. Akan tetapi, perusahaan skala menengah dan besar bertanggung jawab atas sekitar 83 persen dari total nilai output di sektor ini. Sektor pengolahan pangan juga mengalami pertumbuhan investasi yang kuat.
Terlepas dari indikator positif ini, partisipasi Indonesia dalam industri pangan global masih marjinal, yakni sekitar 1 persen dari total ekspor global. Indonesia menghadapi pilihan politik yang sulit sehubungan dengan kerangka kerja kebijakan yang koheren seputar produksi pangan dan pengolahan pangan, tetapi integrasi dengan jaringan produksi regional dan global yang lebih baik kemungkinan akan menghasilkan peluang pertumbuhan penting bagi sektor pengolahan pangan di masa depan.
Perusahaan-perusahaan pengolahan pangan terkemuka di Indonesia seperti Indofood, Garudafood, CP Prima dan Delfi telah menjadi pemimpin pasar dalam kategori masing-masing dengan kapasitas manajerial dan teknis yang mumpuni, dan telah berhasil menembus pasar ekspor. Akan tetapi, kepemilikan ‘Nasional’ tergolong rumit, karena struktur kepemilikan sering kali melekat dalam diaspora budaya Asia Tenggara yang lebih luas, yang ditandai oleh hubungan yang kuat dengan perusahaan induk di Singapura dan Hong Kong. Kondisi ini, mungkin, tidak terlalu krusial, karena sektor pengolahan pangan Indonesia relatif tetap terbuka terhadap investasi asing dan perusahaan pangan global seperti Nestle, Danone, Coca-Cola, Mondelez, dan Unilever semuanya melakukan proses produksi di Indonesia serta bertanggung jawab atas peningkatan kapasitas dan transfer teknologi.
Proyek ini menemukan bahwa distribusi dan infrastruktur ritel Indonesia masih belum berkembang menurut standar regional. Selain itu, jangkauan sektor ritel modern masih relatif terbatas di luar kota-kota besar. Kondisi ini telah mengerem perkembangan sektor hulu. Modernisasi ritel dan distribusi juga kemungkinan akan meningkatkan persaingan antara produk lokal dan impor. Proyek ini menemukan bahwa kompleksitas jaringan distribusi Indonesia dan infrastruktur yang tidak memadai seringkali menjadi masalah. Perusahaan-perusahaan terkemuka, seperti Indofood dan Delfi, telah merespons dengan melakukan integrasi vertikal hilir pada jaringan sendiri. Saluran distribusi ritel jangka panjang diharapkan dapat lebih efisien, seiring dengan terpusatnya pergudangan dan bertambahnya pusat distribusi di seluruh Indonesia.
Proyek ini mengidentifikasi dampak dari perdagangan yang protektif dan kebijakan industri terhadap peran marginal Indonesia dalam rantai nilai regional dan global. Hal ini konsisten dengan tingkat swasembada dan isolasi yang relatif tinggi dari gangguan pasar global, selain itu Indonesia juga kehilangan peluang pertumbuhan yang mengikuti perluasan rantai nilai global. Perusahaan pengolahan pangan yang berbasis di Indonesia terkadang dipaksa untuk membeli bahan-bahan dasar pada harga lebih tinggi daripada yang dikenakan kepada pesaing regional mereka, kondisi ini seringkali diakibatkan oleh kebijakan yang seolah-olah dirancang untuk melindungi petani dan memastikan keamanan pangan.
Terlepas dari keterbatasan-keterbatasan ini, Indonesia telah meningkatkan daya saing ekspor di sektor produk olahan dengan memanfaatkan bahan-bahan dasar yang diproduksi di Indonesia. Antara lain: produksi bahan setengah jadi dari biji kakao mentah dan pengolahan pangan laut seperti tuna, udang dan kepiting. Daya saing ekspor tampak menurun ketika produk olahan memasukkan bahan-bahan yang diatur dengan ketat, seperti beras, gula, dan susu. Sebaliknya, produksi mie instan tampaknya telah meningkatkan daya saing dengan menggabungkan minyak kelapa sawit yang diproduksi secara lokal dengan produk gandum impor, tetapi gandum tidak diatur secara ketat dalam regulasi karena tidak bersaing dengan produksi dalam negeri.
Proyek ini menemukan bahwa investasi asing dan joint venture penting untuk meningkatkan daya saing ekspor di sektor bahan baku kakao dan pengolahan pangan laut, tetapi tidak terlalu krusial dalam produksi mie instan. Karena hambatan yang signifikan dan inefisiensi dalam rantai pasokan pertanian dan jaringan distribusi, perusahaan pengolahan pangan yang berbasis di Indonesia seringkali dituntut untuk lebih terintegrasi secara vertikal daripada di negara lain, dan perusahaan lokal berada pada posisi yang lebih baik untuk melakukan investasi yang diperlukan karena perusahaan asing kemungkinan akan menganggapnya terlalu berisiko.
Hasil dan temuan
Sektor pengolahan pangan merupakan salah satu sektor terbesar dan paling cepat berkembang serta merupakan sub-sektor manufaktur terbesar di Indonesia. Sektor ini melayani pasar domestik untuk 255 juta penduduk dengan kelas menengah yang berkembang pesat. Meningkatnya permintaan akan makanan olahan bernilai tambah yang memenuhi aspek kenyamanan, nutrisi, dan preferensi rasa yang berubah menciptakan peluang baru yang menarik bagi sektor ini. Dengan bertambahnya peluang, kepentingan strategis Indonesia adalah untuk turut berpartisipasi dalam rantai nilai pangan yang kompetitif secara global. Upaya ini membutuhkan peningkatan kepekaan tentang cara makanan diproduksi, metode inovatif dalam produksi pangan, dan kesadaran akan nutrisi, konten dan praktik pemberian label.
Secara singkat, tarif mungkin turun tetapi proteksionisme telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar dalam bentuk hambatan non-tarif. Walaupun hal ini terjadi di hampir semua sektor, sektor produk pangan tetap menjadi salah satu sektor yang paling dilindungi. Peningkatan proteksionisme ini terbukti kontraproduktif, karena cenderung menghambat keterlibatan perusahaan Indonesia dalam jaringan produksi regional yang lebih dinamis, memengaruhi daya saing dan menghalangi akses ke teknologi dan gagasan baru. Upaya untuk melindungi produsen dalam negeri cenderung berimbas negatif terhadap daya saing perusahaan pengolahan pangan, yang dipaksa membayar harga tinggi untuk input utama seperti gula, garam, susu dan biji-bijian. Perusahaan pengolahan pangan sangat bergantung pada pasar domestik yang cenderung dilindungi. Banyak peraturan baru justru menghambat dan bukannya mendukung pengembangan sektor pangan.
People
-
-
Professor Iskandar Zulkarnaen Siregar
Director for Research and Innovation
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Outputs
Report
Neilson, J., Morrison, M., Dwiartama, A., Utami, R., Patunru, A, and Pritchard, B. (2017). ‘Food processing and value chain development in Indonesia. https://figshare.com/articles/ASYDPritIPB_-_Food_Processing_and_Value_Chain_in_Indonesia/5673577
Journal article
Neilson, J., Pritchard, B. Fold, N. and Dwiartama, A. (2018). ‘Lead firms in the cocoa-chocolate global production network: An assessment of the deductive capabilities of GPN 2.0.’ Economic Geography
DOI: 10.1080/00130095.2018.1426989