Kesinambungan energi di sistem kelautan dan dirgantara guna meningkatkan manajemen turbulensi
Industri pelayaran global memiliki jejak lingkungan dan ekonomi skala besar. Estimasi jumlah kapal yang beroperasi di seluruh dunia mencapai lebih dari 90.000 kapal, dengan total konsumsi bahan bakar minyak antara lima dan tujuh juta barel per hari (mencapai 9 persen produksi dunia). Sebagian besar bahan bakar minyak yang dibakar oleh kapal ini memiliki grade rendah, dimana kandungan sulfur dapat mencapai ribuan kali lipat lebih tinggi dari kandungan sulfur yang diizinkan di dalam bahan bakar diesel. Dampak kesehatan dari pencemaran pelayaran sulit untuk dikuantifikasi, namun studi terbaru mengindikasikan bahwa mungkin angka kematian terkait dengan emisi pelayaran mencapai 60.000, dengan biaya kesehatan mencapai miliaran.
Hull roughness dan fouling merupakan kontributor utama yang tidak diukur terhadap belanja energi dari angkutan pelayaran dunia. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi operasi kapal dengan menyediakan cara untuk mengkuantifikasi penalti emisi, biaya finansial dan penggunaan bahan bakar hull fouling di dalam kapal. Dengan demikian, industri kemaritiman dapat membuat keputusan yang lebih baik berdasarkan informasi tentang operasi, baik di tatanan regular atau operasional.
Australia dan Indonesia bergantung pada pelayaran jarak jauh. Australia adalah benua besar, dengan pusat populasi yang beragam, yang terisolir dari mitra dagang utama. Sektor sumber daya utama memberikan permintaan besar untuk ekspor pengapalan kapal pengangkut. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau, dengan jumlah populasi besar yang bergantung pada koneksi perhubungan melalui pelayaran. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah berkomitmen untuk memulai proyek Tol Laut yang akan melibatkan beberapa pelabuhan baru dan tingginya perhubungan kapal besar di antara lima pulau utama Indonesia. Saat ini, biaya untuk mengantar barang dari Jakarta ke Papua Barat lebih mahal daripada ke London, hal ini disebabkan oleh minimnya sarana infrastruktur perhubungan.
Hull roughness adalah kontributor besar yang tidak terkuantifikasi terhadap penggunaan energi pelayaran. Bagi segala kendaraan yang bergerak di air, maka permukaan optimal untuk meminimalisir daya seret akan hampir selalu menjadi bagian akhir yang mulus. Derajat kemulusan yang diperlukan untuk mencapai titik optimum ditentukan oleh kondisi operasi. Untuk sebuah kapal yang bergerak dengan kecepatan 15 knot, maka prakiraan target untuk tinggi tingkat kekasaran berkisar di angka 20 micron (lebih kecil daripada diameter rambut manusia), bila kinerja berada di atasnya, maka kinerja kapal akan mulai menurun. Umumnya kapal tidak memenuhi kondisi optimum demikian, kecuali kapal pesiar balap (racing yacht).
Lambung kapal memiliki tingkat kekasarannya, tergantung pada kesalahan manufaktur, cat permukaan, dan, yang paling penting adalah biofouling – saat organisme laut melekat dan di lambung kapal. Studi sebelumnya menggunakan data laboratorium untuk mengestimasi bahwa fouling skala berat pada kapal angkatan laut dapat berujung pada penalti daya sebanyak 86 persen dari kecepatan layar. Pada studi berikutnya, dampak ekonomi dari hull fouling skala moderat pada armada angkatan laut AS FFG-7 dihitung mencapai USD 1 miliar dalam kurun waktu 15 tahun. Bila kita pertimbangkan bahwa perhitungan ini hanya untuk 56 kapal dari estimasi total kapal sebanyak 90.000 yang beroperasi di atas air, maka skala dampak ekonomi dan lingkungan dari biofouling menjadi sangat besar.
Meskipun derajat keseriusan masalah dan pengetahuan bahwa permukaan kasar merupakan hal yang tidak diinginkan (sehingga ada pengeluaran untuk teknologi anti-fouling), namun tidak ada cara yang dapat diandalkan bagi operator kapal untuk mengkuantifikasi daya serat akibat tingkat kekasaran lambung di dalam kapal. Hampir seluruh estimasi yang dapat diandalkan untuk penalti hull roughness telah dihasilkan dari eksperimen laboratorium sebelumnya pada permukaan yang direplikasi, tanpa pemantauan rutin. Alhasil, penjadwalan untuk pembersihan dan pengecatan ulang menjadi kurang optimal.
Melalui teknik penapisan bawah air dan pengukuran laser untuk arus air yang melalui lambung kapal, proyek bertujuan untuk memberikan data tentang peningkatan pengalaman daya seret kapal di bawah kondisi fouling yang berbeda. Kapal feri antar pulau di Indonesia dipasangi sensor, dengan eksperimen laboratorium terperinci yang digunakan untuk memvalidasi pendekatannya. Tujuannya adalah untuk membuat metodologi real-time yang sesuai dengan aplikasi secara meluas. Hal ini penting bagi industri yang berada di bawah tekanan untuk memitigasi emisi. Akhirnya, proyek ini diharapkan akan menghasilkan lebih banyak pengambilan keputusan berbasis informasi tentang pembersihan lambung kapal, panduan aturan dan aplikasi pengecatan.
Kolaborasi antara Indonesia dan Australia telah tercipta dan terus berlangsung, dengan pertukaran staf antara universitas yang dikukuhkan melalui mahasiswa/i PhD Institut Teknologi Bandung pertama yang tiba di University of Melbourne sebagai bagian dari kelompok riset fluid pada tahun 2016. Proyek ini menarik dukungan lanjut dari Eropa (University of Southampton dan manufaktur coating kelautan asal Denmark Hempel A/S), dan dari Indonesia (pendaftaran pelayaran pemerintah, Biro Klasifikasi Indonesia, dan operator kapal PT Dharma Lautan Utama).
Selain dari manfaat kolaborasi yang lebih erat antara para peneliti Australia dan Indonesia, kami yakin bahwa output proyek akan meningikatkan efisiensi pelayaran secara menyeluruh. Penalti ekonomi dan lingkungan akibat biofouling, hingga saat ini, masih sulit untuk dikuantifikasi dengan akurat. Bila angka yang akurat dapat ditentukan, kami percaya bahwa tekanan aturan yang layak dapat dilaksanakan sehingga mampu meningkatkan efisiensi menyeluruh dari seluruh armada kapal dunia. Untuk sebuah industri yang membakar proporsi besar dari pasokan bahan bakar minyak dunia, manfaat ekonomi dari outcome demikian akan memiliki dampak yang luas.
People
Outputs
Assoc Professor Hutchins was invited to departmental seminar at the University of Southampton, 2015.
Assoc Professor Jason Monty presented to the second ANZPAC Workshop on Biofouling Management for Sustainable Shipping, 2015.
Professor Ketut presented to RINA Conference in Surabaya, 2015.