Mengumpulkan data minimum yang memadai tentang gangguan kesehatan mental pada anak dan remaja di Indonesia

Masa remaja umumnya merupakan periode dimulainya gangguan mental utama. Meski demikian, belum ada informasi memadai tentang topik ini yang dapat membantu para penyusun kebijakan di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk dapat menyusun prioritas dan mengarahkan investasi dengan efektif.

Proyek ini bertujuan untuk mengevaluasi ketersediaan data minimum yang memadai tentang permasalahan mental dan perilaku utama di Indonesia dan negara lainnya di wilayah Asia Tenggara. Proyek ini juga mempelajari berbagai penelitian yang ada agar dapat digunakan sebagai masukan untuk tindakan pencegahan, untuk menentukan faktor risiko yang mana yang perlu diprioritaskan dalam pengumpulan data dan kebijakan kesehatan mental di Indonesia.

Tujuan lebih lanjut adalah untuk menjalin kontak dengan para ahli terkemuka di bidang kesehatan mental remaja tingkat global, berinteraksi dengan mitra akademik dan masyarakat sipil di Indonesia dan menyusun proposal untuk mengumpulkan data minimum yang memadai tentang gangguan mental di Indonesia.

Pekerjaan dibagi ke dalam dua proyek yang lebih kecil. Proyek pertama menganalisis data prevalensi gangguan mental pada anak dan remaja. Sumber data adalah tinjauan sistematis yang dilakukan untuk Global Burden of Disease Study 2017 (Studi Beban Penyakit Global 2017). Cakupannya dihitung untuk setiap penelitian dan negara, dan wilayah.

Studi menemukan bahwa cakupan data prevalensi untuk gangguan mental pada anak dan remaja adalah sebesar 4,9 persen untuk Asia Tenggara. Depresi memiliki cakupan yang paling tinggi (3,1 persen) sedangkan tidak ada data prevalensi untuk gangguan makan. Dari 13 negara di Asia Tenggara, hanya delapan negara yang memiliki data prevalensi untuk gangguan mental pada anak dan remaja, serta hanya tiga negara yang memiliki data untuk lebih dari satu jenis gangguan. Malaysia memiliki cakupan yang paling besar (9 persen) sedangkan Sri Lanka (hanya kurang dari 0,01 persen) yang merupakan negara dengan cakupan terendah atas ketersediaan data. Cakupan telah meningkat sejak analisis serupa dilakukan terhadap data yang tersedia dari GBD 2013 (0,3 persen). Akan tetapi, cakupan masih tetap rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti Australia, dengan rata-rata cakupan sebesar 69,1 persen.

Indonesia tidak memiliki cakupan data yang efektif atas anak dan remaja dengan gangguan mental. Hal ini memberikan sejumlah dampak:

  • Kesulitan dalam merencanakan pelayanan dan mengalokasikan sumber daya secara efektif bagi kebijakan dan program kesehatan mental anak dan remaja.
  • Kesulitan mengedepankan kesehatan mental sebagai bidang investasi oleh pemerintah Indonesia atau pemangku kepentingan lainnya.
  • Ketidakmampuan dalam menentukan apakah program atau kebijakan yang ada telah efektif mengurangi beban kesehatan mental.

Saat ini ada upaya yang dilaksanakan untuk menjawab kesenjangan tersebut, yaitu melalui National Adolescent Mental Health Surveys (Survei Nasional Kesehatan Mental Remaja) yang akan datang di Indonesia dan Vietnam.

Bagian kedua dari proyek ini memetakan bukti kesenjangan dalam penelitian faktor risiko dari depresi dan gangguan kecemasan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya yang relevan di Indonesia. Kami menggunakan tinjauan dari metode peninjauan untuk mengidentifikasi penelitian primer, dan menganalisis setiap penelitian yang ada mengenai faktor risiko terhadap generasi usia 5 hingga 24 tahun untuk seluruh kelompok negara berdasarkan pengelompokan pendapatan. Kami mengklasifikasikan penelitian berdasarkan rancangan, tempat, kelompok umur, diagnosa dan faktor risiko yang dikaji.

Temuan utama meliputi:

  • Dari 289 penelitian terhadap faktor risiko untuk gangguan mental utama pada anak dan remaja, angka mayoritas yang sangat besar (70 persen) ada pada negara-negara berpenghasilan tinggi. Hanya ada 22 penelitian (8 persen) di negara berpenghasilan rendah dan menengah rendah
  • Permasalahan yang sering diteliti adalah gangguan pada anak berusia muda yang mengalami kecemasan dan depresi
  • Faktor risiko dalam keluarga, meliputi sejarah gangguan mental dalam keluarga, telah menjadi kelompok faktor risiko yang paling sering dikaji. Lagi-lagi, mayoritas dari penelitian relevan banyak dilakukan pada wilayah berpenghasilan tinggi.
  • Risiko faktor lainnya dengan berbagai penelitian mencakup capaian dalam bidang pendidikan dan paparan terhadap bencana alam. Secara mengejutkan, penelitian tersebut seluruhnya dilakukan terhadap negara berpenghasilan tinggi dan menengah tinggi.

Kami menyimpulkan bahwa ada rasional untuk memetakan kesenjangan dengan alat ukur penuh atas faktor risiko untuk beberapa gangguan mental, dan bahwa ada kasus yang kuat untuk mempelajari studi kohort yang ada di negara berpenghasilan rendah agar dapat menyelidiki faktor risiko yang tersedia dan outcome relevan dari kesehatan mental.

Kami juga menyimpulkan bahwa penelitian yang baru juga patut memperluas cakupan faktor risiko yang yang dipelajari dalam penelitian mereka, dan bahwa ada kebutuhan untuk melakukan survei berbasis populasi dan studi kohort di Indonesia yang tidak hanya mengkaji prevalensi dari gangguan mental pada umumnya, tetapi juga faktor risiko yang relevan terhadap gangguan tersebut.

People