Studi kasus tentang dekarbonisasi di sektor kelistrikan Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan besar untuk mencapai dekarbonisasi. Di dalam lingkungan yang diwarnai dengan perkembangan ekonomi yang pesat, pertumbuhan populasi, dan peningkatan permintaan terhadap energi, Indonesia perlu mencari cara untuk mengadopsi sumber tenaga listrik bersih, mendorong efisiensi energi dan menghimbau penggunaan listrik. Untuk melakukan hal tersebut, Indonesia perlu menginternalisasi perubahan iklim ke dalam agenda nasional, menarik pembiayaan untuk investasi signifikan di bidang infrastruktur dan teknologi, memfasilitasi alih teknologi, dan mengadopsi kebijakan penetapan harga energi yang tepat untuk sumber energi terbarukan.

Studi ini melihat bahwa meskipun ada berbagai tantangan, namun dekarbonisasi memiliki peluang ekonomi bagi Indonesia, sehingga selaras dengan tujuan pembangunan. Mengembangkan sumber energi terbarukan dan teknologi rendah emisi dapat menstimulus perkembangan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Pengukuran efisiensi energi dapat meningkatkan produktivitas. Skenario dekarbonisasi mendalam juga mengasumsikan pergeseran menuju ekonomi yang lebih berorientasi pada pelayanan dan lebih tidak bergantung pada pendapatan yang tidak stabil dari ekspor bahan bakar fosil. Dekarbonisasi mendalam memiliki dua manfaat tambahan. Manfaat pertama adalah mengurangi polusi dari industri transportasi, pembangkit tenaga listrik, dan energi di wilayah tempat tinggal; manfaat kedua adalah peningkatan ketahanan energi dari pengembangan energi terbarukan domestik.

Pada tahun 2009, Indonesia membuat komitmen tidak mengikat untuk mengurangi 26 persen emisi CO2 pada tahun 2020, dibandingkan dengan jalur bisnis seperti biasanya (business-as-usual – BAU). Pada tahun 2016, Indonesia memberikan komitmen pengurangan emisi sebesar 29 persen di bawah BAU pada tahun 2030. Meski demikian, isu tentang iklim belum terinternalisasi dengan utuh di dalam agenda pembangunan Indonesia. Pemerintah harus membuat agenda perubahan iklim sebagai bagian integral dari agenda nasional untuk dapat merangkul dekarbonisasi mendalam.

Sebagai negara berkembang, ekonomi dan populasi Indonesia diharapkan akan berkembang. Pada tahun 2050, tingkat permintaan terhadap energi di bawah skenario dekarbonisasi diperkirakan menjadi 300 persen lebih tinggi dibandingkan 2010. Ini akan menjadi tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 2,8 persen, jauh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi, yaitu di kisaran angka 5,4-5,8 persen. Perbedannya diatribusikan kepada pengukuran efisiensi energi. Beberapa perubahan penting yang diharapkan akan terjadi pada tahun 2050 meliputi peningkatan signifikan di pangsa konsumsi energi industri (dari 49 persen menjadi 74 persen) dan peningkatan signifikan pada listrik, gas dan biofuel, serta pengurangan bahan bakar minyak. Skenario dekarbonisasi memiliki tingkat permintaan terhadap energi 20 persen lebih rendah di 2050, dibandingkan dengan BAU.

Di bawah strategi dekarbonisasi, emisi CO2 Indonesia akan pertama kalinya meningkat akibat pembangunan ekonomi sebelum mengalami penurunan, sebagai hasil dari upaya dekarbonisasi. Skenario dekarbonisasi akan menghasilkan intensitas emisi yang lebih rendah pada tahun 2050 – sekitar 50 persen dari BAU. Emisi dari sektor industri akan meningkat dari 152 megaton pada 2010 menjadi 241 megaton pada 2050. Emisi dari tenaga listrik juga akan meningkat menjadi 184 megaton pada 2050. Dekarbonisasi akan terjadi di sektor transportasi, dari 111 megaton pada 2010 menjadi 88 megaton pada 2050, karena ada pergeseran ke transportasi publik, transportasi dengan energi listrik, dan substitusi bahan bakar.

Dekarbonisasi Indonesia memiliki tiga pilar, yaitu: efisiensi energi, elektrifikasi penguna akhir dan dekarbonisasi sektor tenaga listrik.

Peningkatan efisiensi akan datang dari desain bangunan, perangkat yang lebih baik dan perubahan gaya hidup. Transportasi yang efisien diharapkan dapat tercapai melalui desain transportasi urban ramah energi dan pembangunan sistem transportasi masal. Sistem pembangkit tenaga listrik akan menjadi lebih efisien melalui sistem pembangkit tenaga listrik yang lebih baik, peningkatan transmisi listrik, dan peningkatan sistem distribusi. Peralatan industri yang efisien dan pengembangan industri yang lebih tidak intensif energi akan memadukan perubahan struktural di dalam perekonomian negara (contoh, pengurangan peran industri melalui substitusi sektor jasa) agar dapat mengurangi input energi keseluruhan secara signifikan per dolar PDB.

Dekarbonisasi sektor tenaga listrik akan datang dari adopsi energi terbarukan (panas bumi, tenaga hidro, biomassa dan tenaga surya), gas alam, dan mungkin, tenaga nuklir. Dekarbonisasi diproyeksikan akan mengurangi intensitas emisi pembangkit tenaga listrik dari 871 gCO2/kWh menjadi 133 gCO2/kWh.

Menggantikan sistem pembakaran energi dengan perangkat yang dioperasikan menggunakan listrik (elektrifikasi pengguna akhir) akan meningkatkan pangsa listrik di tingkat permintaan terhadap energi, dan dikombinasikan dengan sistem pembangkit yang terdekarbonisasi, berujung pada sistem energi terdekarbonisasi secara menyeluruh. Elektrifikasi pengguna akhir diproyeksikan di semua sektor, antara lain: sistem pemanas dengan bahan bakar fosil (kompor/pemanas/boiler) akan diganti dengan sistem pemanas listrik, dan kendaraan listrik akan menggantikan mesin pembakaran internal. Pangsa listrik di tingkat permintaan energi akhir diharapkan meningkat tiga kali lipat, dari 12 persen pada 2010 menjadi 35 persen pada 2050.

Teknologi baru menjadi kunci utama proses ini. Beberapa teknologi masih berada di tahap demonstrasi, atau memerlukan kemajuan penting bila biayanya akan menurun. Ada beberapa teknologi yang sudah terbukti, seperti tenaga surya, biofuel dan panas bumi, yang saat ini lebih mahal dibandingkan beberapa para pesaing seperti diesel dan pembangkit listrik tenaga batubara. Penggunaan energi terbarukan memerlukan pengembangan teknis agar biaya dapat ditekan, dan dilengkapi dengan kebijakan penetapan harga energi yang tepat.

Dekarbonisasi mendalam juga memerlukan pembangunan infrastruktur secara masif, antara lain: di bidang trasnportasi publik, transmisi gas dan transmisi listrik lepas pantai. Salah satu tantangan utamanya adalah pembiayaan infrastruktur, dan mengarahkan investasi untuk opsi rendah karbon. Berhubung perekonomian Indonesia bertumbuh pesat dan memiliki ukuran yang besar, maka perekonomian Indonesia diharapkan mampu menyerap kebutuhan investasi di bidang dekarbonisasi. Tantangan utamanya ada pada kapasitas negara untuk mengarahkan keputusan investasi menuju solusi rendah karbon, sebuah perubahan drastis dari keputusan di masa lalu dan masa sekarang, yang umumnya masih menargetkan energi fosil. Penggunaan tenaga nuklir dapat memiliki peran, tapi juga memiliki beberapa tantangan khusus.

Skenario dekarbonisasi Indonesia dibandung di atas asumsi bahwa Indonesia dapat menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil, memasok listrik ke hampir semua rumah tangga, dan mengurangi angka kemiskinan. Oleh karena itu, dekarbonisasi selaras dengan tujuan pembangunan sosio-ekonomi negara. Skenario yang digunakan di dalam studi ini juga akan melihat kontribusi signifikan Indonesia terhadap upaya global untuk mencegah peningkatan suhu sebesar 2°C pada 2050.

People

Outputs

Baldwin, K., & Dewi, R. G. Case study on decarbonising the Indonesian electricity sector in Low Carbon, Resilient and Prosperous Economies (Cambridge University Press, forthcoming)