Investigasi sosio-teknis mengenai peluang Jakarta untuk leapfrogging menuju pengelolaan air berkelanjutan
Seiring dengan meningkatnya ketertarikan kota-kota di Indonesia dan Australia untuk beralih ke budaya ramah air, ada pelajaran penting yang dapat dipetik dan dibagikan, yakni menciptakan kemitraan yang mendukung leapfrogging menuju pengelolaan air perkotaan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, proyek ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman sosio-teknis tentang faktor pendorong, hambatan dan peluang untuk mewujudkan budaya ramah air di Jakarta sebagai sumber informasi yang digunakan dalam penyusunan agenda penelitian lintas disiplin ilmu kolaboratif untuk mengubah pengelolaan air di Indonesia dan Australia.
Proyek ini memiliki tiga tujuan utama utama:
- Menganalisis praktik pengelolaan air sosio-teknis saat ini di Jabodetabek untuk mengidentifikasi kondisi praktik pengelolaan air Jakarta saat ini terkait dengan perubahan ekspektasi masyarakat tentang pasokan air, kesehatan masyarakat, perlindungan banjir, pengelolaan daerah aliran sungai, kesehatan lingkungan, ketahanan iklim, dan hubungan hulu-hilir saluran air.
- Menyelidiki potensi prinsip-prinsip kota ramah air untuk diterapkan di Jakarta dengan mempertimbangkan konteks lokal. Pemahaman mengenai konteks lokal dan karakteristik sistem air Jakarta yang berkaitan dengan prinsip-prinsip kota ramah air akan sangat penting dalam mengidentifikasi proses dan jalur yang diharapkan untuk leapfrogging.
- Cakupan agenda untuk program penelitian lintas disiplin ilmu kolaboratif untuk memajukan praktik pengelolaan ramah air di kota-kota Indonesia dan Australia. Kesenjangan pengetahuan yang signifikan di setiap bidang perlu diatasi melalui penelitian lintas disiplin yang mengacu pada bukti empiris dari kedua negara untuk mendukung transisi Australia dan Indonesia menjadi kota-kota ramah air.
Proyek ini dilakukan dalam dua tahap. Yang pertama melibatkan studi penjajakan yang dilakukan oleh peneliti dari Monash dan IPB. Data dikumpulkan melalui tinjauan pustaka, analisis mendalam, kunjungan lapangan dan wawancara dengan pemangku kepentingan lokal. Hal-hal Ini dianalisis untuk menyusun laporan latar belakang yang menjadi sumber informasi bagi fase kedua proyek, berupa lokakarya pemangku kepentingan selama dua hari yang diselenggarakan bersama oleh AIC, Monash University, IPB, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dan Academy of Technological Sciences and Engineering (ATSE) di Jakarta, Indonesia. Kelompok besar yang terdiri dari 60 peserta dari sektor akademis, pemerintah, industri dan masyarakat sipil turut menghadiri lokakarya.
Kegiatan yang dilakukan dalam proyek ini telah membangun kemitraan yang kuat di antara lembaga-lembaga penelitian yang berpartisipasi dan organisasi pemangku kepentingan untuk melakukan penelitian kolaboratif lebih lanjut menuju agenda kota ramah air.
Mengelola infrastruktur air untuk memastikan pasokan dan layanan sanitasi yang memadai, meminimalkan banjir dan mendukung lingkungan yang sehat merupakan tantangan, terutama dengan meningkatnya urbanisasi dan dampak perubahan iklim. Konsep ‘kota ramah air’ muncul sebagai tanggapan serta menawarkan prinsip-prinsip pengelolaan air untuk meningkatkan kelayakan huni, keberlanjutan, dan ketahanan perkotaan. Dalam transisi kota-kota Indonesia dan Australia menjadi kota ramah air, ada pelajaran penting yang dapat dipetik dan dibagikan. Proyek ini mengembangkan pemahaman sosio-teknis tentang faktor pendorong, hambatan dan peluang budaya ramah air di Jakarta sebagai sumber informasi yang digunakan sebagai langkah pertama yang penting dalam mengembangkan agenda untuk penelitian lintas disiplin.
Berbagai tantangan teknis, sosial dan kelembagaan saat ini dianggap menghambat kemajuan Jabodetabek dalam mewujudkan praktik yang lebih ramah air. Sebelum dimulainya lokakarya, analisis sosio-teknis memberikan konteks dan penjelasan tentang beberapa tantangan air perkotaan yang dihadapi di Jabodetabek.
Faktor yang paling sering dianggap membatasi kemajuan menuju pengelolaan air perkotaan yang lebih berkelanjutan adalah kurangnya koordinasi dan integrasi dalam kebijakan dan pengaturan tata kelola. Contohnya adalah kurangnya regulasi dalam perubahan penggunaan lahan, walaupun rencana induk nasional dan rencana induk Jabodetabek masih kurang koheren dan kurang bersinergi dengan tujuan pengembang lokal.
Lokakarya juga mengidentifikasi bahwa faktor pendorong untuk mewujudkan perubahan tidak terlihat jelas bagi masyarakat, oleh karena itu literasi air dan partisipasi dalam masyarakat cenderung kurang. Rendahnya keterlibatan masyarakat dianggap sebagai tantangan signifikan dalam menciptakan momentum untuk menuju budaya ramah air. Tantangan lain yang diidentifikasi dalam lokakarya adalah kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Menurut studi penjajakan, sistem pembuangan limbah di luar lokasi hanya mencakup sekitar 3 persen dari wilayah di Jakarta. Air limbah yang buruk dan pengelolaan limbah padat menimbulkan dua tantangan besar: kesehatan masyarakat yang buruk dan ketidaksetaraan.
Hasil dan capaian
Bagi masyarakat Jabodetabek, tantangan utama yang perlu ditangani pemerintah adalah infrastruktur yang rusak, rezim pemeliharaan yang tidak memadai dan tekanan iklim. Kota ramah air dapat digambarkan oleh tiga pilar praktik (Wong dan Brown, 2009), yang secara kolektif meningkatkan kelayakan huni, keberlanjutan, dan ketahanan perkotaan:
- Kota-kota sebagai daerah tangkapan pasokan air, di mana semua sumber daya air yang tersedia dalam jejak perkotaan dianggap sebagai sumber pasokan yang berharga dan sistem infrastruktur mengintegrasikan teknologi terpusat dan terdesentralisasi untuk memanfaatkan sumber daya pada berbagai skala.
- Kota-kota menyediakan layanan ekosistem, di mana infrastruktur air dan lanskap perkotaan dirancang baik secara fungsional maupun estetis.
- Kota-kota dengan warga dan komunitas yang sadar air, di mana orang-orang menghargai banyak nilai air, merasa terhubung dengan lingkungan air setempat dan menerapkan perilaku sadar air.
Prinsip-prinsip umum perlu diterjemahkan agar memiliki makna dan relevansi khusus untuk konteks ekologis, geografis, budaya dan kelembagaan khusus agar Jabodetabek dapat menjadi kota ramah air. Saat dibandingkan dengan tiga pilar kota yang ramah air, peserta lokakarya mengidentifikasi praktik dan visi yang diperlukan untuk mencapai hal ini:
- Walaupun solusi teknologi diperlukan, sebagian besar faktor pendukung berfokus pada metode tata kelola air baru yang melibatkan peningkatan kapasitas, proses pengambilan keputusan yang adil dan peningkatan kolaborasi antara pengelola dan pengguna air.
- Negara-negara berkembang seperti Indonesia memberikan lebih banyak fleksibilitas menuju solusi karena infrastruktur dan kelembagaan mereka belum mapan. Oleh sebab itu, kota-kota di negara-negara industri lebih berpeluang untuk melompati tahapan menuju sistem air perkotaan yang berkelanjutan.
- Proyek mengidentifikasi dimensi-dimensi utama yang penting dalam mengembangkan program kerja sama Australia-Indonesia secara lebih lanjut untuk mengikuti jalur ini guna memajukan teknologi dan praktik yang ramah air.