Transform Health Leaders membawa kesehatan remaja dan pencegahan penyakit tidak menular ke Jakarta

Delegasi dari Australia-Indonesia Centre Transform Health Leadership Program baru-baru ini melaksanakan lokakarya di Jakarta untuk menyampaikan keilmuan dan gagasan baru kepada 20 tenaga dan ahli kesehatan di Indonesia.

Terdapat sembilan orang ahli kesehatan yang telah menyelesaikan program Health Cluster mereka di Melbourne pada bulan Februari, menyajikan lokakarya selama dua hari dengan tema Indonesian Approach to Transform Adolescent Health in NCDs Prevention (Pendekatan Indonesia untuk merubah fokus pada Kesehatan Remaja dalam Pencegahan Penyakit Tidak Menular) di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta pada 14 dan 15 April 2018.

Read this article in English.

Fokus dari kedua program tersebut adalah mengenai pentingnya kesehatan remaja dan advokasi yang bersifat evidence-based dalam upaya melawan munculnya penyakit tidak menular. Selain itu, juga berfokus pada keterampilan dalam kepemimpinan dan komunikasi, yang diperlukan untuk merangkul seluruh kelompok dan sektor terkait, khususnya untuk melibatkan remaja.

Ketua AIC Health Cluster, Profesor Sawyer menjelaskan mengapa topik tersebut dipilih ketika beliau menjelaskan tentang Program Jakarta: “Empat-puluh tiga persen masyarakat Indonesia berusia dibawah 30 tahun. Meskipun pengetahuan tentang kesehatan anak di Indonesia sudah baik, keahlian teknis pada kesehatan remaja masih rendah.  Masa remaja adalah masa fase kritis perkembangan dalam perjalanan hidup seseorang. Karena itu penting untuk memperhatikan kebutuhan Indonesia untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mengembangkan kebijakan, program, dan aktivitas untuk meningkatkan derajat kesehatan remaja.”

“Kami memutuskan untuk memperluas lingkaran kami menjadi lebih besar dan lebih kuat. Kami ingin membagi pengetahuan, keahlian, dan yang paling penting semangat ‘remaja’ kami,” jelas tim delegasi tersebut dalam buku program mereka. Mereka menyatakan keputusan untuk menyelenggarakan kegiatan ini adalah dalam rangka menindaklanjuti kegiatan yang telah mereka dapatkan dari program Transform Health di Melbourne.

Lokakarya berlangsung di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta. (Foto: AIC)

Hari pertama lokakarya berfokus pada remaja, fase perkembangan penting dimana perilaku risiko penyakit tidak menular (PTM) mulai muncul, seperti merokok dan rendahnya aktivitas fisik, serta masa yang paling mudah untuk mencegah perilaku tersebut (sebelum perilaku tersebut semakin berkembang dan sulit untuk dihilangkan setelah mereka mencapai fase dewasa).

John Prawira dari Universitas Gadjah Mada dan Dr Fransisca Handy Agung dari Universitas Pelita Harapan menyoroti bahwa remaja adalah bagian signifikan dari populasi di Indonesia. Mereka menguraikan beberapa aspek unik dari kelompok remaja, dan menjelaskan mengapa remaja adalah target penting dalam upaya melawan PTM untuk perkembangan di masa depan.

“Remaja adalah tulang punggung dalam bonus demografi Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030,” ujar Prawira. “Intervensi yang cost-effective harus mulai diimplementasikan sejak masa remaja,” lanjutnya.

Hafizah Jusril dari Universitas Indonesia membahas mengenai peningkatan angka kejadian PTM di Indonesia: “PTM telah ditetapkan sebagai ancaman tidak hanya bagi kesehatan masyarakat, tetapi juga terhadap pertumbuhan dan perkembagan ekonomi.” Dr Sudirman Nasir dari Universitas Hasanuddin kemudian menjekaskan mengenai meningkatnya beban kesehatan mental di Indonesia, yang sampai saat ini masih dihiraukan.

Hasna Pradityas dari Smoke Free Agents menjelaskan bahwa organisasinya melakukan pendekatan kreatif untuk men-denormalisasi perilaku merokok. Bekerja sama dengan AIC Health Cluster, Smoke Free Agents mendidik siswa SMA mengenai risiko kesehatan dari perilaku merokok dan mengadvokasi kebijakan pengendalian tembakau. Beberapa siswa juga telah mengadvokasi pemerintah daerah sekitar terkait iklan rokok dan penegakan hukum untuk pengendalian tembakau.

Hari kedua lokakarya membahas mengenai peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja dan mengadvokasi stakeholder lintas sector. Hal ini diperlukan sebagai penunjang untuk meningkatkan derajat kesehatan remaja Indonesia yang membutuhkan kerjasama dari pembuat kebijakan, pendidik, ahli dan tenaga kesehatan, dan lain sebagainya.

Dr Cut Novianti Rachmi dari University of Sydney dan Deviana Wijaya Dewi dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta berfokus pada menyusun policy brief yang efektif, kasus yang bersifat evidence-based untuk tindakan tertentu, dan secara umum mengkomunikasikan atau mendiseminasikan hasil temuan penelitian kepada pemerintah, media, dan masyarakat. “Saya [melihat di Melbourne] bagaimana penelitian memiliki peran penting pada masyarakat di Australia,” kata Deviana. “[Indonesia juga] perlu mendiseminasikan aktivitas dan kebijakan yang bersifat evidence-based.”

Dr Bernie Medise dari Universitas Indonesia yang juga Ketua dari Satgas Remaja dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) berbicara mengenai peningkatan kapasitas pada pelayanan kesehatan remaja, dan memberikan akses kepada seluruh stakeholder untuk berkontribusi dan mendapatkan manfaat dari kemajuan sektor. “Ketika kita bicara mengenai penyakit tidak menular, kita tidak hanya membahas mengenai penyakit yang diderita pasien, tetapi juga gaya hidup, fasilitas, dan kebijakan,” jelasnya.

Selain itu, anak muda atau remaja dinilai memiliki peran penting sebagai stakeholder dan menjadi pelaksana kegiatan. “Kita harus mengundang remaja dan melibatkan mereka untuk menyusun sebuah program untuk mereka sendiri,” pendapat Hasirun dari Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Selatan.

Terakhir, Benny Prawira mengatakan mengenai ‘servant leadership’ seperti yang telah dijelaskan oleh tim dari Associate Profesor Sen Sendjaya dari Monash Business School. Benny pelopor Into The Light Indonesia, sebuah LSM pencegahan bunuh diri menyatakan, “Kita membutuhkan manajemen yang lebih bevariasi dan sensitif terhadap kebudayaan,” ujar Benny mengenai pelayanan kesehatan di Indonesia. “Stigma yang ada di masyarakat terkait beberapa penyakit dan masalah kesehatan jiwa di menjadi lebih rumit khusunya ketika berbicara mengenai masyarakat di kelompok merjinal.”

Panitia lokakarya mengunjungi kantor VicHealth (badan kesehatan provinsi Victoria) selama Transform Health Leadership Program di Melbourne awal tahun 2018. (Foto: AIC)

Lokakarya yang dilaksanakan di Jakarta mengembangkan tujuan dari para peneliti dari AIC Health Cluster, yaitu untuk memperluas kapasitas dan jaringan ahli atau tenaga kesehatan yang menyadari pentingnya kesehatan remaja untuk menurunkan beban penyakit tidak menular di Indonesia pada masa yang akan datang.

“Salah satu tantangan terbesar kami adalah untuk berkolaborasi dengan para ahli yang tertarik dengan kesehatan remaja di seluruh penjuru Indonesia,” ujar Dr Cut Novianti.

Penginisiasian Asosiasi Kesehatan Remaja (AKAR)

Para ‘lulusan Melbourne’ yang juga menginisiasi Asosiasi Kesehatan Remaja (AKAR), dimana 20 orang peserta dari Jakarta program akan bergabung, menyatakan bahwa mereka “berusaha untuk bekerja bergandengan tangan untuk meningkatkan derajat kesehatan para remaja Indonesia yang juga merupakan generasi masa depan bangsa Indonesia”.

“Ini adalah output yang sangat luar biasa dari delegasi kami,” ujar Christianne O’Donnell, koordinator  AIC Health Cluster yang membantu pelaksanaan Melbourne program yang dipimpin oleh Andrea Krelle dan Professor Susan Sawyer dari University of Melbourne dan Dr Bernie Medise dari Universitas Indonesia. “Kami merasa sangat bangga.” ujarnya Christianne.

Aktivitas terbaru AKAR (Desember 2019)

AKAR telah terlibat dalam beberapa proyek seputar kesehatan remaja di Indonesia:

  • Mengulas sebuah buku untuk para orang tua, ‘1001 Cara Bicara Orang Tua Dengan Remaja’, berkolaborasi dengan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)
  • Mengembangkan modul sekolah menengah nasional untuk kesehatan reproduksi remaja, diprakarsai oleh Menteri Kesehatan
  • Melakukan kursus pelatihan tiga hari untuk dokter tentang layanan kesehatan ramah remaja dengan Unala (by UNFPA Indonesia) di Yogyakarta
  • Mengembangkan modul bersama mengenai pencegahan pernikahan anak untuk Kantor Urusan Agama, yang diprakarsai oleh Kementerian Agama. Pada September 2018, parlemen indonesia akhirnya menyetujui bahwa 19 tahun adalah usia minimal untuk menikah bagi laki-laki maupun perempuan (sebelumnya 16 tahun untuk perempuan)

Pada Maret 2019, AKAR juga menyelesaikan sebuah proyek untuk program kesehatan remaja WHO di Indonesia. Laporan resmi WHO mengenai hal ini akan dikeluarkan pada 2020.