Esai ini merupakan bagian dari serangkaian ditugaskan oleh Pusat Australia-Indonesia, termasuk penulis terkemuka dan komentator dari Indonesia dan Australia masing-masing, yang memeriksa secara dekat masyarakat mereka sendiri, budaya dan situasi politik.
Diterjemahkan oleh penulis sendiri
TIAP KALI SESEORANG bertanya bagaimana aku tiba di Australia, aku bilang saja aku diadopsi dari Tiongkok. Cerita itu tak membuat seorang pun merasa tak enak. Cerita itu tak membuatku merasa dikasihani. Cerita itu tak membuatku tampak seperti korban.
TIGA TAHUN SETELAH kejadian itu. Aku dan sahabatku duduk-duduk di kamar asrama dan ia berkata, “Suatu sore waktu SMP, aku berjalan pulang dari latihan sepak bola dan melewati terowongan telantar. Seseorang melompat keluar dan menarikku ke dalam…”
Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari sahabatku tengah menceritakan bagaimana ia pernah diperkosa. Segera aku memeluknya. Namun, tak sanggup kuceritakan pengalamanku sendiri kepadanya. Andai kubercerita, sahabatku akan sadar bahwa kisah hidup yang selama ini kubagi dengannya, orang yang selama ini ia pikir dapat ia percayai, adalah dusta.
ENAM TAHUN SETELAH kejadian itu. “Sulit sekali memahamimu,” kata cinta pertamaku kala kami makan malam di sebuah restoran taman. “Aku sudah cerita tentang masa kecilku, keluargaku—kamu belum cerita apa-apa.”
Ia benar. Ia memberitahuku mimpinya terdalam: kalau dapat mengerjakan apa saja di dunia, ia ingin memadukan pendidikan hak asasi manusia dengan sepak bola. Ia memberitahuku ketakutannya terbesar: ia cemas takkan pernah dapat membuat orangtuanya bangga. Tiap kali ia bertanya sesuatu yang bermakna tentang diriku, aku hanya menciumnya.
Dua minggu setelah kencan itu, ia meninggalkanku.
SEPULUH TAHUN SETELAH kejadian itu. Kulihat selebaran mengumumkan sebuah diskusi bersama penyintas kerusuhan Mei ’98 di Jakarta. Entah mengapa, aku datang ke acara itu. Duduk di belakang. Menunduk.
Sang moderator, anggota tim independen pencari fakta, menjelaskan kepada hadirin apa yang terjadi pada Mei ’98: selama lebih daripada 30 tahun Indonesia dikuasai rezim Orde Baru yang otoriter, dipimpin oleh Soeharto. Pada 1998 demonstrasi mahasiswa dan rakyat mendorong Soeharto untuk turun. Pada 13-14 Mei kerusuhan meletus di beberapa kota—pusat-pusat perbelanjaan dijarah dan dibakar, sekitar seratus perempuan diperkosa. Demonstrasi semakin menghebat. Soeharto menyatakan berhenti, dan Indonesia memasuki masa demokratisasi, yang sering disebut Reformasi.
Seorang penyintas pada panel bercerita: pacarnya ketika itu, seorang anggota Kopassus, mewanti-wantinya agar tak meninggalkan rumah pada tanggal 13-14. Ia menurut. Namun, adiknya bermain ke luar rumah bersama seorang teman. Sore harinya, teman itu berlari tunggang-langgang ke rumah mereka, tubuhnya berlumur air got.
“Ombak kata-kataku pecah menghantam bendungan bibirku, hatiku tumpah ke luar dada. Betapa kuharap seseorang memperhatikanku di sini, tanya apa yang terjadi kepadaku.”
“Ia bilang ia dan adikku sedang menonton mal yang terbakar. Lalu muncul orang-orang berpakaian hitam misterius dan bersenjata. Mereka memerintahkan kerumunan untuk masuk ke supermarket di sebelah mal. Teman adikku lompat ke dalam got… Ia menyaksikan orang-orang itu mengunci supermarket dan membakarnya. Setelah mereka pergi, ia lari untuk memberitahu kami. Pagi berikutnya Ayah bergabung dengan tim relawan dan kepolisian yang bertugas mengungsikan mayat korban ke rumah sakit. Ayah menemukan jasad adikku. Aku ingat apa yang dikatakan pacarku, lalu kutelepon ia. Ia bilang ia tahu akan ada kerusuhan, tapi ia bersumpah ia tidak terlibat. Aku ingin putus dengannya saat itu juga, tapi aku cemas akan keselamatan keluarga. Akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke Makassar, kota asal Ayah.”
Ombak kata-kataku pecah menghantam bendungan bibirku, hatiku tumpah ke luar dada. Betapa kuharap seseorang memperhatikanku di sini, tanya apa yang terjadi kepadaku. Tolong. Bahkan seraya kusembunyikan diri dari teman-teman dan kekasih, senantiasa kuberharap mereka dapat melihat menembus persona yang kupersembahkan kepada mereka, dan menarikku keluar.
Sang moderator mengundang pertanyaan dari hadirin.
Dorongan untuk bicara membuatku ketakutan. Kuberlari pulang dan membungkus diri dalam sprei. Di sinilah aku lagi, setelah bertahun-tahun berlalu, kembali ke tempat semuanya bermula…
SETELAH KEJADIAN ITU kubungkus sekujur tubuhku dari kepala hingga kaki dengan sprei rumah sakit. Dari balik tudung ini aku bisa mengamati dunia, tapi dunia tak bisa melihatku. Ketika seorang dokter datang dan menjamah spreiku, aku menjerit dan menendangnya.
“Saya perlu memeriksa anak anda,” katanya pada orangtuaku yang duduk di kaki brangkar. Mereka belum mengatakan sepatah kata pun sejak membawaku ke sini.
“Saya tak berniat mengambil spreimu,” kata Bu Dokter kepadaku. “Saya cuma mau memastikan kamu baik-baik saja.”
Mendengarnya, aku menjadi lebih tenang sedikit—kubiarkan ia memerban luka-lukaku. Di pergelangan tangan, kaki, leher, paha.
Sejam kemudian kulihat orang-orang berseragam menyeruduk melalui koridor. Kudengar mereka memperingatkan staf rumah sakit agar tidak bicara kepada media tentang korban kerusuhan, terutama korban perkosaan.
Bu Dokter kembali ke sisiku. “Apa kalian punya tempat yang aman untuk tinggal?”
Ayahku menggelengkan kepala. Ibuku hanya terus menangis.
“Mungkin sebaiknya Bapak, Ibu, dan Adik ikut saya.”
Bu Dokter membantuku berdiri, masih terselubung sprei. Ia memapahku berjalan ke mobilnya, kemudian membawa kami ke sebuah rumah di kawasan yang teduh dan tenang. Setelah sampai, Bu Dokter membuka pintu rumah. Ia cukup bijak untuk tidak menghidupkan lampu. “Rumah ini tadinya mau saya sewakan, tapi Bapak, Ibu, dan Adik bisa tinggal di sini sampai keadaan sudah aman untuk pulang. Saya dekat dengan para tetangga—mereka orang baik.”
Ayahku menerima kunci rumah tanpa berkata-kata.
“Kalian sudah makan?”
Ibuku menggeleng sambil terus saja menangis.
Lima belas menit kemudian Bu Dokter kembali membawa nasi bungkus dan air botol. Aku melihatnya dari jendela kamar tidur utama, aku telah mengunci diri di dalamnya. Bu Dokter mengetuk pintuku, menawarkan makanan. Aku tak menggubrisnya. Kamar itu memiliki kamar mandi di dalam, jadi aku tak perlu membuka pintu bagi siapa pun. Aku bisa tetap aman di dalam.
Namun, tiap kali kututup mata, setan-setan itu ada di sana lagi, mencengkeram pergelangan tangan dan kakiku lagi, menyobek-nyobekku lagi. Aku tak ingin seorang pun mendengar kami ada di rumah itu—selama berminggu-minggu kutidur dengan menyumpal sprei ke mulut.
Bu Dokter kembali keesokan hari membawakan pakaian, selimut, handuk, dan lebih banyak makanan. Kubiarkan ia mengganti perbanku, tapi aku tak berkata apa-apa. Hari berikutnya ia membawakanku buku tulis dan pena. Katanya apabila aku belum siap untuk bicara, aku bisa menuliskan apa-apa yang ingin kusampaikan.
Tiap kali aku membukakan pintu untuk Bu Dokter, orangtuaku menatap dari belakangnya. Ibuku meratap, ayahku menatapku dengan wajah pucat dan berduka—seolah aku sudah meninggal. Mereka sepertinya tak tahu bagaimana mesti menghadapiku. Mereka tampak seperti anak-anak tak berdaya, mereka seolah telah memercayakan seluruhnya kepada Bu Dokter. Terbersit pula olehku mungkin mereka pikir aku telah mendatangkan aib kepada keluarga kami…
Setelah beberapa bulan kudengar Bu Dokter menanyakan orangtuaku apakah mereka punya rencana untuk masa depan.
Tak terdengar sepatah kata pun sebagai jawaban.
“Apa Bapak-Ibu ingin pulang?”
Lagi-lagi, diam.
“Bagaimana kalau Bapak-Ibu sekeluarga meninggalkan Indonesia saja?”
Bu Dokter pergi ke kedutaan Australia berkali-kali guna mengurus visa pengungsi untuk kami. Ketika ia memintaku ikut dengannya untuk wawancara di kedutaan, aku menulis, “Aku tak mau ke Australia. Biarkan aku mati saja. Belikan aku racun.”
Tiap hari Bu Dokter menawarkan untuk mengantarkan kami ke kedutaan, tiap hari aku meminta racun. Suatu malam ia tak tahan lagi.
“Kamu tahu betapa beruntungnya kamu? Luka-lukamu tak terlalu parah. Perempuan lain takkan bisa punya anak. Perempuan lain meninggal! Tak kasihan kamu pada orangtuamu? Kamu punya kesempatan untuk mulai hidup baru… dan kamu cuma mau mati?”
Ia pergi dan kembali dua puluh menit kemudian, membawa kantung plastik. “Nih, racun buatmu! Kalau menurutmu hidupmu sudah tak berharga, tak peduli apa yang selama ini saya lakukan buat kamu, mungkin kamu memang layak mati.” Dilemparnya kantung plastik itu kepadaku.
Beberapa hari kemudian Bu Dokter bercerita bahwa ia menghabiskan malam itu berdoa supaya aku tak minum racunnya—berdoa ia telah melakukan hal yang benar untuk menunjukkan kepadaku bahwa sesungguhnya aku tak ingin mati, aku masih mendambakan sebentuk masa depan.
Keesokan hari setelah Bu Dokter membawakanku racun, aku membuka pintu kamar dan melepas sprei yang membalut sekujur tubuhku. “Aku siap pergi ke kedutaan.”
DELAPAN BELAS TAHUN SETELAH kejadian itu. Menurut sumberku—dan mulai saat ini aku bicara sebagai diri sendiri, Eliza—gadis itu kini tinggal di Australia dengan nama baru dan keluarga baru.
Ketika diminta menyumbang esai untuk sebuah serial tentang identitas Indonesia dan Australia, langsung terpikir olehku untuk menyelusuri ide itu melalui tema trauma personal dan nasional. Aku teringat kisah si gadis di atas, yang telah menyentuhku secara dalam.
Sumberku, seorang anggota tim independen pencari fakta, diceritakan kisah si gadis oleh orang yang menolongnya dari rumah sakit hingga ia nyaman tinggal di Australia. Orang itu kini tak lagi berhubungan dengan si gadis, maka aku tak bisa mewawancarai si gadis tentang bagaimana traumanya memengaruhi cara ia menceritakan kisah hidupnya. Bukankah itu bagian penting identitas—kisah hidup yang kita ceritakan?
Seraya aku menulis, kutemukan diriku mengisi pengalaman pribadi si gadis dengan pengalamanku sendiri—bagaimana sahabatku menceritakan kepadaku tentang pemerkosaannya dan aku tak dapat menceritakan kepadanya tentang pemerkosaanku sendiri, bagaimana cinta pertamaku telah membagi segala rahasia tentang dirinya dan aku terlalu takut untuk menceritakan satu pun hal intim tentang diriku. Aku penasaran apakah si gadis juga mengalami banyak kesulitan menjalin persahabatan dan percintaan, walaupun ia sangat mendambakan hubungan yang intim.
Telah lama kuberniat untuk menulis tentang apa yang terjadi kepadaku di atas, tapi aku tak ingin hal itu memengaruhi bagaimana orang memandangku. Ketika akhirnya kuputuskan untuk menulis, aku merasa berada di tempat yang kokoh, aku telah menemukan pasangan yang mencintaiku, dan aku baru saja menulis esai yang menginterogasi diri sendiri tanpa ampun, menyadari bermacam kesalahan dan delusiku. Aku merasa siap menghadapi kejadian itu, mampu memaknainya daripada membiarkannya memaknaiku.
“Kala aku membayangkan perasaannya…Aku pun pernah berpikir lebih baik hijrah ke luar negeri saja.”
Kubayangkan begitu pula si gadis menimba keberanian untuk menceritakan kisahnya. Setelah ia pergi ke acara diskusi di atas—adegan rekaan, walau kesaksian sang penyintas berdasarkan kesaksian seorang penyintas sungguhan—si gadis mulai mengakui kisah hidupnya kepada sahabatnya, kemudian kepada kekasihnya. Ia mulai menyelusuri relung-relung kelam dalam samudra jiwanya.
Tentu aku merasa ragu soal menggabungkan cerita si gadis dengan ceritaku sendiri… Sanggupkah aku, yang berlatar belakang etnis Madura-Jawa mengetahui bagaimana perasaannya, seseorang yang berlatar belakang etnis Cina, yang tumbuh dewasa di sebuah negara yang pernah mengharuskannya melupakan nama, bahasa, tarian, dan agama nenek moyangnya? Untungnya, sejak ’98 hukum yang diskriminatif itu telah dihapus. Kala aku membayangkan perasaannya, kukenang bagaimana aku sendiri sering merasa tak diterima—karena sejak kecil aku tak bisa jadi gadis manis penurut sesuai tuntutan semua orang. Aku pun pernah berpikir lebih baik hijrah ke luar negeri saja. Aku ingin percaya si gadis akan memahami apa yang hendak kulakukan dengan menulis esai ini.
Dengan begitu pula aku menemukan kembali hubungan dengan Indonesia—dengan melihat bayangan diriku dalam kisah-kisah dan teman-teman yang berpengalaman serupa. Teman-teman dari latar belakang etnis dan agama yang berbeda-beda, beberapa dari mereka sesama penyintas yang saling berbagi kisah tentang kepedihan dan pergulatan melawan rasa sakit, malu, dan stigma. Rasa saling percaya itulah yang mengukuhkan persahabatan kami. Mereka menunjukkan kepadaku apa artinya tangguh. Ketika berkampanye menentang kekerasan berbasis gender, mereka mengajarkanku apa artinya pandai dan adil, bukannya pendendam.
Indonesia masih belum mengakui pemerkosaan ’98. Mungkin, sebagaimana diriku dulu, ia butuh waktu. Tak lama setelah kejadian itu, prioritas pertamaku adalah memulihkan diri—terlalu membingungkan dan meresahkan bagiku untuk memikirkan apa yang terjadi. Setelah kerusuhan ‘98, pemerintah ingin keadaan kembali normal, cepat, maka mereka bungkam dan berharap bangsa akan lupa. Banyak korban pun merasa terlalu perih untuk membicarakan pemerkosaan mereka. Lagipula, saat itu tidak aman untuk bicara. Kantor tim independen pencari fakta dilempari bom. Seorang gadis yang ingin bersaksi dibunuh.
Banyak orang merasa mengangkat kembali pemerkosaan mereka hanya akan mendatangkan aib dan membuka luka lama. Kubayangkan si gadis pun merasa mustahil menjadi orang yang ia cita-citakan apabila pemerkosaan adalah bagian kisah hidupnya. Namun, hingga kumenghadapi kenangan traumatisku, aku merasa terhantui, gelisah, dan tiada utuh. Sungguh sulit memadukan kejadian pemerkosaan massal ke dalam narasi sejarah bangsa kita—tetapi apabila kita ingin membangun masyarakat yang sungguh damai, kita butuh mendengarkan suara dari kelompok yang berbeda-beda. Oleh karena itu, daripada merepresi bagian-bagian masa lalu kita yang pahit, kita mesti menemukan cara yang membangun untuk mengakui kejadian-kejadian itu dalam narasi sejarah nasional kita.
Dalam legenda, Malin Kundang—yang sukses membangun sendiri kekayaannya—merasa reputasinya akan runtuh apabila ia mengakui bahwa ia berasal dari keluarga miskin. Tapi ia salah merasa malu akan asal-usulnya yang sederhana. Bagaimana dunia dapat mengukur betapa tinggi ia telah berhasil mengangkat dirinya? Bagaimana dunia dapat mengukur betapa piawainya Indonesia belajar dari tragedi masa lalu dan berjuang untuk memastikan mereka takkan terulang kembali?
Setelah cukup banyak waktu berselang, tubuhku dan jiwaku butuh supaya aku menghadapi penganiayaanku. Waktunya telah tiba untuk Indonesia. Kita butuh menghadapi pemerkosaan ‘98 karena betapa pun kerasnya kita mencoba, kita takkan bisa lupa. Sekarang ruang kita lebih leluasa untuk membicarakannya, meskipun masih ada juga pihak-pihak yang ingin membungkam kita. Banyak di antara kita cukup tangguh dan cukup pandai untuk menarik perhatian ke masalah ini dengan aman, untuk menciptakan saluran bagi kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kebenaran dan kepulihan.
Malin Kundang menyangkal masa lalunya dan menjadi batu. Belum terlambat bagi kita.
Eliza Vitri Handayani has been writing and publishing since she was in her teens. Her novel From Now On Everything Will Be Different came out in 2015 and was launched internationally. The book’s launch at Ubud Writers & Readers Festival was cancelled due to police warnings, and Eliza protested by wearing to the festival T-shirts printed with excerpts from her novel. Her short works have appeared in places including the Griffith Review, Asia Literary Review, Exchanges Journal, Magdalene, Jakarta Post, Tempo, and Inside Indonesia. In 2016 Eliza was selected as a WrICE fellow and participated in residencies in China and Australia. Eliza has appeared at Northern Territory Writers Festival, Makassar International Writers Festival, and Melbourne Writers Festival. Eliza manages InterSastra, a platform for literary exchange between Indonesia and the world.